Kamis, 06 Agustus 2009

Manajemen Konflik Ala Tanri Abeng



Dalam organisasi apapun, konflik pasti selalu ada. Sumbernya bisa bermacam-macam. Bisa jadi kebijakan sang pemimpin yang tak mampu memuaskan semua pihak. Sehingga pada buntutnya ketidakpuasan itu bisa berakumulasi pada satu titik, meletus, dan meleburkan organisasinya. Karena itu, jika tidak dikelola dengan baik, konflik punya daya hancur.

Untuk mengelola konflik, caranya memang tidak mudah. Agar prosesnya berjalan baik, perlu digelar sejumlah jurus.

Pertama : Harus ada struktur, lini, dan organisasi yang jelas. Sehingga proses pembagian tugas, kewenangan, serta tanggung jawab didalam organisasi dapat berjalan baik dan benar.

Kedua : Harus ada rambu-rambu yang jelas. Sebab, jika tidak ada aturan main atau hukum yang sudah mapan (established), sama saja dengan kita bermain bola di lapangan berlumpur, tanpa ada garis lapangan. Sehingga, pemain yang off side sekalipun bisa lolos dari pengawasan si 'tukang kebut' alias penjaga garis di sisi lapangan. Atau bisa jadi pula gawangnya malah dipindah-pindahkan sekehendak hati. Toh tidak ada aturan main yang jelas. Kalau sudah begitu, wasit kelas dunia pun bakal angkat tangan untuk memimpin. Apalagi jika sang wasit pun ikut bermain, kondisinya bakal tambah lebih parah.
Terakhir : Dibutuhkan seorang penengah yang memiliki kekuatan berlegitimasi (legitimate power). Penengah ini bisa siapa saja. Asal, dia bisa diterima pihak-pihak yang bertikai. Karena legitimasi itu bisa datang dari penerimaan kelompok yang sedang berseberangan. Makanya, orang yang diberi kewenangan untuk menangani sebuah konflik biasanya orang-orang yang arif dan kredibel. Ibarat seorang wasit, dia harus bisa melihat seluruh garis lapangan secara jelas, tahu aturan main, dan tidak memihak.

Dari ilustrasi itu, ada satu hal yang perlu dicermati. Bagaimanakah kita bisa mengelola konflik menjadi sebuah aset. Ini tentu saja ada seni-nya tersendiri. Karena saat menengahi konflik, langkah-langkah kompromi terpaksa dilakukan agar dihasilkan sebuah penyelesaian yang bersifat saling menguntungkan (win win solution). Maka-nya seorang penengah harus berwawasan luas dan menguasai pendekatan secara multidisiplin, misalnya memahami aspek kultural, psikologis, dan sosiologis lingkungan organisasi yang dipimpinnya. Sebaliknya, jika kita mengelola konflik hanya dengan ilmu matematika semata, pasti akan gagal. Sebab, bila rumusannya hanya menghitung untung rugi, hasilnya bakal tidak memuaskan. Karena itu, sekali lagi, mengelola konflik betul-betul merupakan seni, bukan ilmu (science).

Terlepas dari itu, apa yang bisa dipelajari dari mengelola konflik ?

Pertama, baik organisai mikro (perusahaan) maupun negara, perlu ada governance, struktur, dan aturan main yang jelas. Kalau faktor-faktor ini ada, konflik apapun bisa diselesaikan.

Kedua, konflik tak hanya bisa menjadi kewajiban, tapi juga sebuah aset. Karena itu, kita perlu belajar tentang bagaimana caranya mengubah konflik menjadi sebuah aset.

Pertanyaanya, disamping organisasi dan aturan main yang jelas, apakah kita masih mempunyai orang-orang yang memiliki kearifan dan kredibilitas tinggi ?

(Disadur dari Majalah Panji, terbitan 13 Juni 2001).

0 komentar: